NILAI-NILAI DALAM SASTRA

Konsep Nilai

Sehubungan dengan masalah nilai dalam penelitian ini, perlu diperhatikan berbagai batasan nilai, terutama yang menyangkut nilai budaya. Nilai budaya dalam hal ini dipahami sebagai nilai yang mengacu kepada berbagai hal (dengan pemahaman seluruh tingkah laku manusia sebagai hasil berbudaya), antara lain nilai dapat mengacu pada minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban beragama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, daya tarik, dan hal lain yang berhubungan dengan perasaan, yang melibatkan manusia dalam hubungannya dengan manusia, hidup, kerja, waktu, dan dengan alam.

Nilai itu sendiri dapat dipahami melalui pendapat para pakar di bidang tersebut, antara lain Kluckhon (dalam Djajasudarma, 1997:10) mengatakan bahwa definisi nilai yang diterima sebagai konsep yang diinginkan di dalam ilmu sosial adalah hasil pengaruh seleksi perilaku. Pandangan ini dapat dibandingkan dengan paham yang menyatakan bahwa manusia tidak berbeda di dunia ini, semua tidak dapat berhenti hanya dengan sebuah pandangan (maksud) faktual dari pengalaman yang berlaku. Hasil pengaruh seleksi yang diungkapkan Kluckhon menunjukkan bahwa manusia tidak pernah berhenti dengan pengalaman yang berlaku dengan seleksi yang dianut malalui nilai-nilai yang berlaku bagi masyarakatnya sebagai makhluk sosial.

Pendapat lain yang mendukung bahwa nilai itu termasuk ke dalam seleksi tingakah laku manusia yang menyangkut baik dan buruk adalah pandangan dari Pepper (dalam Djajasudarma, 1997:11) yang menyatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik dan buruk. Rumusan luasnya adalah seluruh perkembangan dan kemungkinan unsur nilai dan rumusan nilai secara sempit diperoleh dari bidang tertentu. Perry (dalam Djajasudarma, 1997:11) menyatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek. Pendapat ini menyatakan bahwa manusia itu sendiri yang menentukan nilai, dan manusia sebagai pelaku (penilai) dari kebudayaan yang berlaku pada zamannya.

Melalui rumusan nilai yang diungkapkan para ahli tersebut, dapat dipahami bahwa nilai merupakan sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik dan buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.

Nilai Kultural dalam Sastra

Sebagai kompleksitas nilai, kebudayaan memuat bermacam-macam jenis nilai. Kebudayaan sebagai kompleksitas nilai oleh Bakker (1984:37) disebut kebudayaan subjektif. Kebudayaan subjektif yaitu kebudayaan aspiratif dan fundamental yang ada pada diri manusia yang berupa nilai batiniah, misalnya: kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Selanjutnya nilai-nilai itu tampak dalam wujud: kesehatan jasmani, kehalusan perasaan, kecerdasan budi, dan kecakapan menggomunikasikan hasil pemakaian budi dan kekayaan rohani yang membuat manusia menjadi bijak. Kongkritisasi dari kekayaan itu berupa keterampilan, kecekatan, keadilan, kedermawanan, kemampuan menghalau nurani manusia, dan fungsi-fungsi lainnya. Kebudayaan batin ini juga berupa kesempurnaan batin. Kebudayaan subjektif juga berupa idealisme, nilai dan emosi yang cenderung transenden (Bakker, 1984:24). Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa kebudayaan subjektif berupa nilai yang membimbing manusia mencapai hidup yang sempurna. Sempurna yang dimaksud adalah kesempurnaan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan, baik dimensi religius, sosial maupun pribadi manusia.

            Kebudayaan yang berupa nilai-nilai yang membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan batin itu biasanya berupa pikiran dan budi manusia  yang baik. Pikiran dan budi manusia yang baik itu selanjutnya menjadi prinsip yang melandasi tindak hidup manusia, sehingga manusia dewasa dan bersifat luhur. Nilai yang berharga yang berkaitan dengan pikiran dan budi baik manusia, dan menjadi prinsip dan melandasi tindak hidup manusia sehingga manusia dewasa dan bersifat luhur disebut nilai kultural.

            Keberagaman nilai yang ada dalam budaya atau kultur manusia, berdasarkan arah tujuan dan fungsi nilai bagi kehidupan manusia dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) nilai hidup ketuhanan manusia, (2) nilai sosial kehidupan manusia, dan (3) nilai kehidupan pribadi manusia (Amir, dalam Sukatman 1992:15).

Sastra dan tata nilai kehidupan sebagai fenomena sosial saling berkaitan. Dalam mencipta sastra, sastrawan memanfaatkan nilai kehidupan yang ada di dunianya. Pada gilirannya, hasil cipta sastra itu akan menyampaikan nilai-nilai yang termuat kepada masyarakat penikmat, sehingga sastra tersebut bisa mempengaruhi pola pikir pembaca sastra. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa di dalam sastra terdapat nilai kehidupan (Wellek dan Warren, 1989).

Berbagai jenis nilai sastra secara garis besar akan dibahas pada bagian berikut, terutama yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. Pembahasan nilai kehidupan dalam sastra selanjutnya akan membahas nilai religiusitas, nilai sosial, dan nilai kepribadian (nilai-nilai kultural).

  1. 1.             Nilai Religiusitas dalam Sastra

            Nilai religiusitas adalah nilai yang mendasari dan menuntun tindakan hidup ketuhanan manusia, dalam mempertahankan dan mengembangkan ketuhanan manusia dengan cara dan tujuan yang benar. Istilah religiusitas, pengertiannya berbeda dengan agama (religi). Religiusitas lebih menunjuk pada aspek yang ada dalam lubuk hati manusia, riak getaran hati pribadi manusia, sikap personal yang bersifat misteri bagi orang lain, karena menafaskan intimitas jiwa. Religiusitas memperlihatkan nafas intensitas jiwa, yaitu cita rasa yang merupakan kesatuan rasio dan rasa manusiawi ke dalam pribadi manusia (Mangunwijaya, 1988:12). Kesatuan rasa dan rasio itu selanjutnya dipakai manusia untuk berhubungan dengan Tuhan. Sedangkan agama (religi) lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dan kepada “dunia atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan.

Sastra sering memuat nilai-nilai religiusitas. Hal demikian terjadi karena pada awalnya semua sastra adalah religius (Mangunwijaya, 1988:11). Artinya, semula sastra lahir untuk acara-acara kebaktian manusia kepada Tuhan, sehingga sastra hadir bersamaan dengan upacara keagamaan tertentu. Melalui sastra manusia ingin mendekat dan menyatu dengan Tuhan lewat seni (unio mistico). Oleh sebab itu, seperti dikatakan oleh Wellek dan Werren (1989:109), sastra memuat norma kehidupan masyarakat, nilai religiusitas, tradisi dan mitos, terutama dalam sastra masyarakat primitif. Karena itu muncullah istilah sastra religius karena dalam sastra memang sering terdapat nilai religius.

            Adanya nilai religiusitas dalam sastra merupakan akibat logis dari kenyataan bahwa sastra lahir dari pengarang yang merupakan pelaku dan pengamat kehidupan manusia. Oleh sebab itu, hal yang ditulis sastrawan juga berkisar pada masalah kehidupan manusia. Unger menjelaskan bahwa masalah yang dibahas dalam sastra mencakup: (1) masalah keagamaan, berupa interpretasi tentang Tuhan, dosa dan keselamatan, (2) masalah nasib manusia yang berhubungan dengan kebebasan dan keterpaksaan dan semangat manusia, (3) masalah alam, yang berupa minat terhadap alam, mitos dan ilmu gaib, (4) masalah manusia yang berupa konsep manusia, hubungan manusia dengan konsep kematian dan konsep cinta, dan (5) masalah masyarakat, keluarga dan negara (Wellek dan Warren, 1989:141-142). Oleh sebab itu, sastra sering memuat nilai-nilai kehidupan yang ideal, karena yang dibahas pengarang adalah masalah kehidupan sosial. Karena muatan nilai-nilai itu selanjutnya sastra mampu menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati, kehidupan emosi, kehidupan budi baik individu maupun sosial (Teeuw, 1984:237). Glock dan Stark (dalam Ancok, 2002:14-15) menyatakan bahwa konsep religiusitas mempunyai dimensi sebagai berikut:

1)     Keterlibatan Ritual (ritual involvement), yaitu tingkatan sejauh mana orang mengerjakan ritual di dalam agama mereka. Seperti sholat, puasa, membayar zakat, pergi ke gereja dan kegiatan ritual lainnya.

2)      Keterlibatan Ideologi (ideological involvement), yaitu tingkatan sejauh mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam agama mereka masing-masing. Misalnya apakah seseorang yang beragama percaya pada adanya malaikat, hari kiamat, surga, neraka, dan lain sebagainya yang sifatnya dogmatik.

3)      Keterlibatan Intelektual (intelectual involvement), yaitu seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya, seberapa jauh aktivitasnya di dalam menambah pengetahuan agamanya. Apakah dia mengikuti pengajian, membaca buku-buku agama, menghadiri sekolah minggu bagi yang beragama Kristen, dan lain sebagainya.

4)      Keterlibatan Eksperiential (experiental involvement), yaitu dimensi yang berisikan pengalaman unik dan spektakuler yang merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan. Misalnya, apakah seseorang merasa doanya pernah dikabulkan Tuhan, apakah dia pernah merasakan jiwanya selamat dari bahaya karena pertolongan Tuhan, dan lain sebagainya.

5)       Keterlibatan Konsekuential (consequential involvement), yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya. Apakah itu menerapkan ajaranya di dalam kehidupan sosial. Misalnya, apakah dia pergi mengunjungi tetangganya yang sakit, mendermakan sebagian harta kekayaannya untuk kepentingan fakir miskin, menyumbangkan uangnya untuk membangun rumah yatim piatu, dan lain sebagainya.

            Nilai religiusitas banyak terdapat dalam sastra Indonesia, baik sastra Indonesia modern maupun sastra daerah. Dalam khasanah sastra Indonesia modern, nilai religiusitas bisa ditemukan dalam sajak-sajak Amir Hamzah, Sapardi Djoko Damono, K.H. Mustofa Bisri, dan Emha Ainun Nadjib banyak ditemukan nilai religiusitas untuk materi Puisi. Amir Hamzah misalnya, merasakan kedekatan dengan Tuhannya sehingga menyebut Tuhan dengan “kekasih” seperti dalam puisi “Doa”. Dalam prosa, cerpen “Godlob” misalnya, Danarto banyak memuat pandangan mistik Jawa-Hindu dengan menggambarkan “perempuan yang hamil Tuhan” sebuah simbol kesatuan hamba dengan Tuhan, yang merupakan pandangan pantheisme. Dalam karya-karyanya Habiburrahman El-Shirazi seperti Ayat-Ayat Cinta, Dalam Mihrab Cinta, dan Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 banyak memuat nilai-nilai religiusitas. Pada novel Laskar Pelangi ditemukan nilai religiusitas seperti keimanan, ketaqwaan, dan tawakal.

Dalam khasanah sastra daerah telah banyak ditemukan kajian-kajian yang mengandung nilai religiusitas. Sikki dkk. (1991) mengemukakan bahwa dalam sastra Sulawesi Selatan terdapat nilai religiusitas yang berupa pengakuan adanya Tuhan dan kekuasaan Tuhan atas alam semesta ini. Hal serupa juga ditemukan oleh Suwondo dkk. (1994) dalam khasanah sastra Jawa. Nilai religiusitas yang terdapat dalam budaya sastra Jawa meliputi keimantauhidan manusia terhadap Tuhan, keteringatan manusia terhadap Tuhan, ketaatan manusia terhadap firman Tuhan, dan kepasrahan manusia terhadap kekuasaan Tuhan. Nilai religiusitas juga ditemukan oleh Djamaris dkk. (1996) dalam khasanah sastra Kalimantan. Nilai religiusitas tersebut meliputi, percaya kepada Tuhan, percaya pada takdir, suka berdoa, suka bertobat, bersyukur, dan tabah. Nilai religiusitas juga ditemukan oleh Djamaries dkk. (1993) dalam khasanah sastra Sumatra, nilai religiusitas tersebut meliputi tawakal, suka berdoa, menyerah kepada takdir, dan lain sebagainya. Nilai religiusitas juga ditemukan dalam folklor Indonesia yang dalam hal ini adalah Peribahasa Indonesia. Dalam peribahasa Indonesia ditemukan nilai-nilai religiusitas yang berupa pengakuan keesaan Tuhan, pengakuan kekuasaan Tuhan, kebaktian manusia kepada Tuhan, dan faham hidup moderat (Sukatman 1992). Temuan-temuan di atas secara umum menyatakan bahwa dalam sastra daerah Indonesia terdapat nilai religiusitas, yang berupa pengakuan adanya Tuhan, pengakuan kekuasaan Tuhan, keterikatan dan kedekatan manusia dengan Tuhan, serta kebaktian manusia kepada Tuhan.

  1. 2.             Nilai Sosial dalam Sastra

            Nilai sosial adalah nilai yang mendasari, menuntun dan menjadi tujuan tindakan dan hidup sosial manusia dalam melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidup sosial manusia (Amir, dalam Sukatman, 1992:26). Nilai sosial merupakan norma yang mengatur hubungan manusia dalam hidup berkelompok. Norma sosial itu merupakan kaidah hubungan antar manusia, yang menurut Goeman (dalam Sukatman, 1992:27) merupakan kaidah yang melandasi manusia untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan geografis, sesama manusia, dan kebudayaan alam sekitar. Karena kaidah itu melandasi kegiatan hidup kelompok manusia, maka dapat dikatakan nilai sosial merupakan petunjuk umum ke arah kehidupan bersama dalam masyarakat (Suparlan, 1983:142). Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa nilai sosial merupakan pedoman umum dalam bermasyarakat.

Dalam sastra sering terdapat nilai-nilai sosial, yang disebut aspek sosiologis sastra. Termuatnya nilai sosial dalam sastra merupakan akibat logis dari kenyataan bahwa sastra ditulis oleh sastrawan yang hidup di tengah masyarakat dan sangat peka dengan masalah sosial. Sastrawan individu tetapi bisa mewakili masyarakatnya.

            Untuk melihat nilai sosial yang ada dalam sastra kita bisa melacaknya melalui kristal-kristal nilai yang berupa: tradisi, konvensi dan norma masyarakat yang ada dalam sastra. Seperti dikatakan oleh Wellek dan Warren (1989:109) bahwa sastra sebagai institusi sosial yang memakai medium bahasa, dalam menyampaikan pesan disalurkan dalam bentuk simbolisme yang berupa konvensi dan norma sosial. Biasanya simbolisme itu berkaitan dengan situasi sosial tertentu, politik, ekonomi dan sebagainya.

            Dalam sastra Indonesia nilai-nilai sosial dapat ditemukan, baik dalam sastra daerah maupun sastra Indonesia modern. Dalam konteks sastra daerah Sulawesi Selatan, Sikki dkk. (1991) menemukan bahwa dalam sastra ditemukan nilai sosial seperti: kegotong-royongan, persatuan, kemanusiaan, kesetiaan dan tanggung jawab. Nilai sosial juga ditemukan oleh Suwondo dkk. (1994) dalam konteks sastra Jawa. Suwondo dkk. menemukan bahwa dalam sastra Jawa terdapat nilai sosial seperti: bakti kepada orang lain, rukun, musyawarah, kegotongroyongan, dan sebagainya. Sedangkan Djamaris dkk. (1993) menemukan bahwa dalam khasanah sastra Sumatra terdapat nilai sosial seperti: kasih sayang, kepatuhan, kesetiaan, kerukunan, keramahan dan lain sebagainya.

            Dalam khasanah sastra Indonesia modern nilai-nilai sosial dapat ditemukan. Sumardjo (1984) mengungkapkan bahwa dalam sastra Indonesia (khususnya novel) dari periode Balai Pustaka sampai periode tujuh puluhan banyak mengungkap nilai-nilai sosial Indonesia, terutama kelas sosial menengah ke bawah. Masalah sosial yang ada menyangkut masalah ketentraman, keadilan dan kebersamaan hidup, tingkat keluarga dan masyarakat (negara). Penggambaran masalah di atas, dalam cerita berupa konflik sosial, konflik politik. Dari konflik-konflik yang ada dapat dipahami bahwa sumbernya adalah dari adanya benturan antara nilai-nilai sosial yang sudah mapan dengan nilai baru, yang tidak selaras atau berjalan secara berdampingan. Konflik sosial yang ada dalam sastra itu walaupun tidak memberi tahu secara langsung bahwa ada nilai sosial, tetapi secara implikasional mengisyaratkan bahwa ada nilai sosial yang dipegang oleh masyarakat sebagai pedoman hidup, pedoman untuk melakukan dan menilai tindakan hidup sosial. Sukatman (1992) mengungkapkan bahwa dalam folklor Indonesia (khususnya peribahasa) banyak ditemukan nilai-nilai sosial seperti kebaktian antar manusia, kebersatuan hidup, dan adil terhadap orang lain. Dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (2007) banyak memuat nilai-nilai sosial seperti, tolong-menolong, kebersatuan hidup, saling menghargai antar sesama, toleransi silaturrahmi, dan lain sebagainya.

  1. 3.             Nilai Kepribadian dalam Sastra

            Nilai kepribadian adalah nilai yang mendasari dan menjadi panduan hidup pribadi setiap manusia. Nilai itu merupakan arah dan aturan yang perlu dilakukan sebagai hidup pribadi manusia (Simorangkir, 1987:14). Nilai kepribadian ini digunakan individu untuk menentukan sikap dalam mengambil keputusan dalam menjalankan kehidupan pribadi manusia itu sendiri. Lebih dari itu, nilai kepribadian juga digunakan untuk menginterpretasikan hidup ini oleh dan untuk pribadi masing-masing manusia (Jarolimek dalam Sukatman, 1992:34). Nilai kehidupan pribadi (nilai kepribadian) diperlukan oleh setiap individu. Nilai itu digunakan untuk melangsungkan hidup pribadinya, untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup yang merupakan prinsip pemandu dalam mengambil kebijakan hidup (Amir dalam Sukatman, 1992:34). Perlunya nilai kepribadian bagi kehidupan individu itu didasarkan pada kenyataan bahwa dalam melangsungkan hidup, manusia memerlukan hal yang bersifat jasmaniah dan rohaniah dengan cara dan tujuan yang benar.

Di dalam sastra terdapat nilai-nilai kehidupan yang beragam. Unger misalnya, menyatakan bahwa di dalam sastra termuat nilai-nilai, yang di antaranya adalah masalah hidup manusia (Wellek dan Werren, 1989:141-142). Hal demikian bisa dilihat dalam sastra rakyat atau folklor lisan, seperti teka-teki, cerita rakyat dan bentuk-bentuk humor, biasa terdapat norma-norma hidup. Danandjaja  (2002) telah banyak meneliti folklor lisan Indonesia. Dari penelitian tersebut dapat dipahami bahwa dalam nilai kehidupan bangsa Indonesia, termasuk nilai kepribadian, banyak ditemukan di dalam folklor.

            Dalam konteks sastra Sulawesi Selatan, Sikki dkk. (1991) menjelaskan bahwa dalam khasanah sastra Sulawesi Selatan dapat ditemukan nilai-nilai kehidupan pribadi seperti: (1) kejujuran, (2) kecendekiaan, (3) keteguhan, (4) sirik (harga diri atau martabat), (5) tanggungjawab, (6) kesetiaan, (7) kepahlawanan, dan (8) ketekunan. Nilai sosial juga ditemukan oleh Suwondo dkk. (1994) dalam konteks sastra Jawa. Dalam sastra Jawa tersebut terdapat nilai kehidupan pribadi seperti: (1) kesehajaan, (2) menerima kenyataan, (3) sembada (bertanggung jawab), (4) nalar dan keseimbangan mental (bijaksana). Dalam konteks sastra Kalimantan, Djamaris dkk. menemukan nilai-nilai kepribadian yang meliputi, rajin bekerja, menuntut ilmu, berkemauan keras, kecerdikan, keberanian, kewaspadaan, tidak putus asa (ulet), menuntut malu dan lain sebagainya. Sukatman (1992) mengemukakan bahwa dalam folklor Indonesia (khususnya peribahasa) banyak terdapat nilai-nilai kepribadian seperti, keberanian hidup, kerealistisan hidup, kesederhanaan hidup, kejujuran, kesembadaan, teguh pendirian dan kewaspadaan hidup. Nilai-nilai kepribadian juga banyak ditemukan dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata seperti, daya juang, bertanggung jawab, keteguhan, tekad kuat dan kerja keras, ketekunan, sabar, syukur, rendah hati, disiplin, lapang dada, baik sangka, dan lain sebagainya.

Sumber Bacaan:

Ancok, D. 2002. Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Yogyakarta: Pusat Studi Kependidikan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada.

Bakker, J. W. M. 1984. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Mangunwijaya, Y. B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.

Simorangkir, O. P. 1987. Etika Jabatan. Jakarta: Aksara Persada Press.

Sukatman. 1992. Nilai-nilai Kultural Edukatif dalam Peribahasa Indonesia. Tesis. S2 yang tidak dipublikasikan. Malang: IKIP Program Pasca Sarjana.

Suparlan, Y. B. 1983. Kamus Istilah Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Syuhadak. 2010. Nilai-Nilai Kultural Edukatif Dalam “Basanan Using Banyuwangi Dan Pemanfaatannya Sebagai Alternatif Materi Pembelajaran Apresiasi Sastra Di Sekolah . Skripsi tidak dipublikasikan. FKIP PBSI. Universitas Jember.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.

7 komentar di “NILAI-NILAI DALAM SASTRA

Tinggalkan komentar